Halo Matahariku…..

Sun and SonHari itu, aku bercengkerama dengan matahari, membakar kulitku yang kuning langsat.
Matahari terik menyengat kulit wajah dan tanganku.
Hari itu, aku bercengkerama dengan matahari yang ekslusif
Hari lainnya, aku bercengkerama dengan matahari kemiskinan

Woods, Iron, Hybrid dengan loft yang berbeda melambungkan bola supaya masuk hole
Beberapa hole yang hanya punya 3 par ada hadiah menarik bagi turnamen amatir
BMW 300i, New honda jazz, rumah mewah di kawasan Bogor, sampai hadiah bernilai miliyaran rupiah bagi yang berhasil mencetak Hole In One

Tapi rupanya sang dukun tak membiarkan peserta yang rela panas-panasan mendapatkan salah satu diantara empat hole in one.
Ada pawang hujan di tepi lapangan golf, lainnya dukun yang tak rela membiarkan hadiah direbut para amatir.

Sirine berbunyi, tanda pertandingan harus diundur karena suara gemuruh di langit.
Rupanya pawang hujan ilmunya tak sukses hari itu. Mungkin cuma ada di Indonesia ada pawang hujan.

Beberapa waktu lalu ‘katanya’ ada pemain amatir tersambar petir. Usai kondisi aman, mereka melanjutkan kembali pertandingan. Panas matahari adalah yang mereka tunggu-tunggu, hujan mereka tak suka.

Permainan Golf cukup menarik, lihat saja para pro bermain cantik. Mengarungi cuaca panas dengan angin, kondisi setiap lapangan yang unik.
Para pemain harus pintar-pintar menggunakan club-nya untuk menempuh jarak dari tee ke green.

Lihat saja kawakan seperti Woods, Cabrera, Nicklaus membelokan bola seperti bolanya punya mata, atau bola meluncur seperti ditarik magnet.
Mereka rela berpanas ria untuk mendapatkan hadiah mulai dari satu juta rupiah hingga satu juta dolar lebih di setiap pertandingan.

Suatu hari, pulang dari kota setelah mengantar kerabat saya kembali ke rumah menggunakan kereta jabotabek.
Saya duduk di tepi pintu, memandangi bocah ingusan, badannya kumal.
Untuk mengusir kesepian di jalanan karena tak ada teman menemani pulang, iseng-iseng saya bertanya padanya.

Anak itu mengingatkan pada hari ketika saya jadi guru bantu di RS. Harapan Bunda bagi anak-anak jalanan pasar Impres Kramat Jati 6 tahun lalu.
“Dik, kamu tinggal dimana?” sapa saya untuk membuka topik pembicaraan.
Ia memakai baju bewarna putih bertuliskan TERIGU CAP SEGITIGA BIRU NETTO 50 KG.

Wajahnya untuk ukuran anak kecil lumayan menggemaskan.
Tapi sayang tubuhnya yang tersengat matahari membuatnya tampak kusam.
“Ah, kasihan sekali” Pikir saya, anak ini demikian miskinnya sampai tak sanggup beli baju.
Anak itu tampak kelaparan, matanya nanar menatap saya penuh duka dan luka.

Seharian ia mengamen, menyanyikan lagu macam Bang Toyib.
Mengais rejeki ditengah terik matahari yang ganas. Ingat, matahari cuma satu besarnya tak lebih besar daripada bintang bernama Betelgeuse, 700 kali lebih besar dari matahari.

Tapi matahari saja sudah cukup untuk membakar bumi kita dengan adanya gurun.
“Nyanyikan satu lagu” pinta saya, ia pun bernyanyi sendu.
Pecahan uang lima ribu bagi saya memang tak berarti kala kantong belum kempes.

Tapi ketika tanggal tua tiba, dan gajian belum datang rasanya lima ribu sangat berharga buat saya.
Memang tak cukup buat beli baju yang ia inginkan, paling tidak bukan bekas karung terigu atau beras.
Uang lima ribu hanya buat beli makan, dan air putih saja barang kali. Atau mungkin bagi anak jalanan lainnya buat setoran ke orang tua mereka.

Ah, tega sekali Ibu atau Bapak yang tega menyuruh anak mereka berbuat demikian.
“Kak, saya haus… udah ya nyanyinya” ujar anak kecil yang tak saya ketahui namanya.
“Panas-panas… gerah…..” ujar si kecil meninggalkanku.
Teringat di hari bahagia lainnya, kebahagian terpancar dari para bapak-bapak yang kulitnya menggelap akibat terbakar matahari.

Toast for wine dari gelas-gelas berkaki mereka berbunyi, diiringi gerai tawa gadis-gadis penghibur.
Lagu sendu mereka berbeda dari kebanyakan yang anak-anak nyanyikan. Jazz sedikit blues, meskipun sedih tapi cuma untuk membuat adem teriknya matahari.

Lagu-lagu jazz riang, kadang musik ajeb-ajeb atau pop melankolis dan kadang riang gembira dinyanyikan para biduanita.
“Mbak Angie, jangan pulang dulu… one wine dulu lah…” kata narasumber saya menyuguhkan manisnya anggur merah yang menyengat di hidung.

“Makasih Bu, saya balik dulu… sudah sore, dikejar skrip soalnya” ujar saya, seraya tertawa.
Ah matahariku…. kau benar-benar membawa sesuatu yang ironis.

Aku hanya berada di tengah mereka, kepanasan bersama si kecil dan Bapak-bapak dengan gelak tawa yang membuatku mendapatkan kerjaanku sebagai kuli tinta dan pelukis kotak ajaib bernama televisi….

Candu, ia adalah candu…
Menulis adalah candu
Dengan telusur data-data yang rumit tapi menyenangkan
Memintal kata hati dan suara-suara yang bergentayangan di benakku…
Mengapa aku menulis kala hati tak tenang, membunuh waktu bengongku…
Untuk sementara melupakan permasalahan.
Tapi aku merasa, cukup bahagia. Kesedihan ini jauh lebih baik dibanding nasib anak-anak jalanan itu…….

Jakarta, 22 Juni 2009

-Kill the time, again-